Pendidikan
bergerak di bidang jasa yang berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi
warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab (UUSPN, 2003) . Itu adalah big quality atau kualitas besar, tidak
hanya output, tetapi sampai dengan outcome,
bahkan sampai dengan impact atau
dampak pendidikan, menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Di
dalam big quality itu terselip satu
bagian kecil, untuk memenuhi indikator berilmu. Hal ini dapat diketahui dengan
hasil tes, ulangan, dan ujian, termasuk ujian nasional (UN) yang sebentar lagi digelar. Bagian kecil ini
sesungguhnya hanyalah small quality
atau kualitas kecil. Sebenarnya kualitas kecil jangka pendek ini akan tercapai
dengan sendirinya bila MBS dan TQM berjalan dengan baik. Akan tetapi sangat
disayangkan karena kenyataannya bagian kecil itu yang diagungkan, bukan saja
oleh satuan pendidikan tetapi juga oleh peserta didik, orang tua dan masyarakat
umum. Bukan hanya orang awam, kepala dinas pendidikan, bupati, gubernur menteri
pendidikan, bahkan presiden tentunya juga memiliki kecemasan tersendiri,
tentunya sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Karena mereka adalah
pejabat politis, maka kepentingannya tentu juga erat dan tidak bisa lepas
dengan kepentingan politis.
Sebenarnya
bagi kebanyakan siswa UN tidak terlalu menakutkan, karena UN adalah satu
kegiatan yang menjadi satu kesatuan dan konsekwensi menuntut ilmu. Di samping
itu ada pula yang tidak terlalu khawatir terhadap hasil UN karena menurut pengalaman
siswa yang tidak luluspun baik-baik saja. Mereka toh masih diusahakan jalan
keluarnya agar mereka mendapatkan tiket masuk pendidikan yang lebih tinggi. UN
ulangan dan ujian kesetaraan atau kejar paket yang menyediakan gerbong didesain
khusus bagi siswa yang tidak lulus UN.
Dibandingkan
siswa sendiri, orang tua mungkin lebih terbebani ketika anaknya menghadapi UN.
Sebagian orang tua rela mengeluarkan uang lebih agar anaknya bisa lulus UN
dengan mengikutkan anaknya pada lembaga bimbingan belajar yang “menjamin”
anaknya lulus UN. Perbincangan mengenai UN antar orang tua lebih banyak
dibandingkan dengan anaknya sendiri. Kecuali kawatir anaknya tidak lulus, ada
juga yang mencemaskan nilai yang diperoleh untuk mendapatkan pendidikan yang
lebih baik setelah lulus ujian.
Berbeda
dengan orang tua, guru mencemaskan nama baiknya. Mereka sangat terbebani bila
anak didiknya banyak yang tidak lulus UN, (padahal lebih banyak guru yang tidak
mengajarkan mata pelajaran UN). Pihak
sekolah yang dikomandani oleh kepala sekolah, di samping akan menanggung rasa
malu, juga akan menerima dampak berkurangnya animo calon siswa memasuki sekolah
tersebut pada tahun pelajaran berikutnya. Di beberapa daerah, sekolah, termasuk
guru di dalamnya akan terancam “karirnya” bila banyak siswanya tidak lulus ujian.
No comments:
Post a Comment